Kerajaan Samudera Pasai merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia yang terletak di Aceh, tepatnya di pesisir utara Sumatera, sekitar Kota Lhokseumawe. Kerajaan ini didirikan oleh Meurah Silu atau Malik Al Saleh pada tahun 1267 M sebagai kerajaan gabungan dari Kerajaan Pase dan Peurlak.
Selain sebagai pusat perniagaan, Samudera Pasai juga menjadi pusat perkembangan agama Islam pada masa itu. Sayangnya, kerajaan ini mengalami kemunduran setelah serangan Kerajaan Majapahit dan Portugal serta perpecahan keluarga kerajaan. Saat ini, beberapa peninggalan Kerajaan Samudera Pasai dapat ditemukan di beberapa museum di Aceh. Buat kamu yang penasaran apa saja peninggalan kerajaan yang bercorak Islam ini, berikut deretan informasi lengkapnya.
Baca juga: 10 Tempat Wisata Terbaik di Banda Aceh
Berikut daftar peninggalan historis Kerajaan Samudera Pasai yang masih ada dan dilestarikan.
Salah satu bukti keberadaan kerajaan Islam di Indonesia terutama di wilayah Aceh adalah temuan prasasti Batu Nisan yang menggambarkan adanya pemerintahan Islam pada abad ke-7 Hijriyah atau pada abad 13 Masehi.
Pada tahun tersebut disinyalir sebagai tahun yang sama adanya Kerajaan Samudra Pasai yang dipimpin para sultan. Dengan demikian, diketahui pada masa itulah tonggak pertama Kerajaan Samudera Pasai berkembang. Artefak prasasti tiga Batu Nisan bersurat tersebut ditemukan dua di Gampong Leubok Tuwe, Kecamatan Meurah Mulia, sedangkan satu lainnya ditemukan di Gampong Matang Ulim, daerah Kabupaten Aceh Utara.
Ditemukannya Makam Sultan Malik Al Saleh pada tahun 1297 menjadi bukti sejarah Islam yang masuk ke Indonesia diperkirakan sekitar abad ke-13 Masehi. Malik Al Saleh atau Meurah Silu merupakan pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Samudera Pasai yang saat itu belum memeluk Islam. Awalnya, Malik Al Saleh dibujuk oleh dua orang pendakwah untuk memeluk Islam sekaligus mendirikan Kerajaan Samudera sebagai pesaing Pasai.
Makam Sultan Malik Al Saleh yang terletak di Gampong Beuringen, Kecamatan Samudera, Aceh Utara ini dinilai mirip dengan batu nisan yang ada di Gujarat India. Teori ini menyebutkan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Gujarat melalui hubungan dagang saat itu dengan India. Namun, ada yang menyebutkan makam tersebut tidak bercorak Gujarat melainkan memiliki kemiripan dengan batu nisan yang ada di Bengal, India.
Selain ditemukannya makam raja pertama Kerajaan Samudera Pasai, terdapat pula makam-makam Raja Samudera Pasai yang lain termasuk raja ketiga Samudera Pasai, makam Sultan Muhammad Malik Al Zahir. Makam ini terletak di dekat reruntuhan bangunan pusat Kerajaan Samudera di desa Beuringen sekitar 17 km sebelah timur Lhokseumawe.
Sultan Muhammad Malik Az Zahir dikenal sebagai raja Kerajaan Samudera Pasai yang berhasil membawa Samudera Pasai pada puncak kejayaanya (1326-1345). Sosok Sultan Muhammad Malik Az Zahir dan kepemimpinannya ini digambarkan dalam catatan Ibnu Batutah saat singgah di Kerajaan Samudera Pasai pada tahun 1345. Selain sebagai negeri yang hijau dan indah, Samudera Pasai juga berhasil menjadi pusat perdagangan penting dari berbagai negeri seperti India, Cina, Siam, Arab hingga Persia.
Makam Sultanah Nahrasiyah berada di Gampong Kuta Krueng, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara, sekitar 18 km sebelah timur Kota Lhokseumawe. Makam tersebut terletak di kompleks II (Kuta Karang) yang tidak jauh dari kompleks I makam Raja-Raja Samudera Pasai. Makam Ratu Nahrasiyah dinilai sebagai makam terindah di Asia Tenggara menurut Prof. Dr. C Snouck Hurgronje yang dituangkan dalam bukunya di tahun 1907.
Makam yang terbuat dari pualam Gujarat itu dipenuhi dengan pahatan kaligrafi di bagian dinding-dindingnya seperti surat Yasin, surat Al-Baqarah ayat 285 dan ayat 298 serta surat Ali Imran ayat 18 dan 19. Selain itu, terdapat kaligrafi Arab yang menyebutkan kubur yang bercahaya dari ratu yang terhormat yang diketahui wafatnya pada tahun 1428 M. Makam Sultanah Nahrasiyah masih utuh tanpa mengalami kerusakan dan kini menjadi destinasi wisata sejarah dan religi di Aceh.
Kerajaan Samudera Pasai juga turut andil dalam sejarah keilmuan Islam yang dapat dilihat dari karya-karya tulisnya. Salah satu karya tulis Kerajaan Samudera Pasai sekaligus sebagai peninggalan benda bersejarah adalah Hikayat Raja-Raja Pasai.
Hikayat Raja-Raja Pasai merupakan karya tulis yang diperkirakan sudah ada sejak tahun 1360 M. Karya tulis ini menjadi penanda kemunculan dan perkembangan sastra Melayu klasik di Nusantara. Bahasa tersebut digunakan oleh ulama besar Aceh Syaikh Abdurrauf al-Singkili dalam menuliskan beberapa buku-bukunya.
Selain itu, dijelaskan perkembangan ilmu tasawuf bersamaan dengan kepopuleran sastra Melayu Klasik. Salah satu kitab karya syekh besar Maulana Abu Ishak berjudul Durru al-Manzum menjadi bukti perkembangan tersebut termasuk peran Samudera Pasai sebagai pusat peradaban Islam di Asia Tenggara.
Peninggalan Kerajaan Samudera Pasai tidak hanya berbentuk benda bersejarah atau artefak kuno melainkan berbentuk tradisi budaya yang masih lestari hingga saat ini. Tradisi tersebut adalah Tradisi Peutron Aneuk atau tradisi upacara bayi yang menginjak tanah pertama kali lalu diajak berkeliling rumah.
Ada juga yang mengajaknya berziarah di sekitar rumah. Tradisi ini merupakan rangkaian dari kegiatan menyambut kelahiran anak yang bertujuan untuk memperkenalkan lingkungan luas kepada anak bayi yang baru lahir. Biasanya bayi yang kakinya menjejak tanah tersebut harus mencapai usia tertentu berusia 44 hari atau lebih. Kendati demikian, pelaksanaan tradisi ini berbeda-beda disesuaikan dengan kebiasaan tiap keluarga Aceh.
Tradisi Peutron Aneuk menjadi tradisi turun temurun yang sudah dilakukan sejak masa kerajaan Samudera Pasai sebagai hasil akulturasi budaya Hindu yang masuk ke Aceh sebelum Islam.
Selain menjadi mata uang Arab pada zaman nabi, dirham juga digunakan sebagai mata uang di era Kerajaan Samudra Pasai. Dirham atau deureuham merupakan koin yang terbuat dari emas murni yang dicetak pertama kali oleh Sultan Muhammad pada masa pemerintahannya sekitar 1297-1326 Masehi.
Dirham yang dibuat pada saat itu terbuat dari 70 persen emas murni bernilai 17-18 karat berdiameter 1 cm dengan berat 0,6 gram. Mata uang Kerajaan Samudera Pasai itu juga memuat aksara Arab dengan nama-nama sultan yang pernah memerintah seperti Sultan Mansur, Sultan Alaudin, Malik Al Zahir, Sultan Abu Zaid, dan Sultan Abdullah.
Selain dirham, Kerajaan Samudera Pasai juga pernah menggunakan real sebagai mata uang mereka seperti yang disebutkan dalam Hikayat Raja-Raja Pasai.
Peninggalan Kerajaan Samudera Pasai yang pernah ditemukan oleh arkeolog adalah pecahan gerabah lokal, keramik asing, benda logam dari besi, perunggu dan timah. Gerabah yang ditemukan diyakini dibuat sendiri oleh masyarakat lokal pada masa tersebut. Keberadaan peninggalan Kerajaan Samudra Pasai ini memperjelas adanya aktivitas perdagangan yang terjadi pada masa kerajaan Samudera Pasai termasuk dengan pedagang dari negara lain.
Salah satu peninggalan ikonik Samudera Pasai adalah temuan stempel sultan oleh seorang pematang tambak di Desa Kuta Krueng, Kecamatan Samudera, Aceh Utara. Stempel tersebut diperkirakan milik sultan kedua Samudra Pasai, Muhammad al-Malik Az-Zahir. Stempel Sultan
Muhammad Al Malik Az-Zahir diperkirakan berusia lebih dari 683 tahun mengingat wafatnya sang sultan sekitar tahun 726 Hijriyah. Saat ditemukan, stempel sudah dalam keadaan tidak utuh lantaran tidak bergagang dengan ukuran 2 x 1 cm dan berat yang tak sampai satu miligram. Selain itu, terlihat kaligrafi Kufi berisi kalimat Mamlakah Muhammad.
Lonceng Cakra Donya merupakan salah satu koleksi di Museum Aceh sebagai peninggalan historis dari Kerajaan Samudera Pasai. Lonceng raksasa tersebut diperkirakan dibuat pada tahun 1409 M dan merupakan hadiah Laksamana Cheng Ho dari Kekaisaran Cina. Lonceng Cakra Donya terbuat dari besi berbentuk stupa dengan tinggi 125 cm dan lebar 75 cm. Lonceng ini merupakan lonceng tertua dan terbesar di Indonesia.
Lonceng ini terbuat dari besi dan berbentuk stupa. Awalnya, Lonceng Cakra Donya berada di kompleks Keraton Aceh sebelum dibawa sebagai rampasan perang oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1524. Sejak tahun 1915 Gubernur Militer Aceh H.N.A Swart memindahkan lonceng tersebut ke Museum Aceh sampai saat ini.
Beberapa peninggalan Kerajaan Samudera Pasai kini dapat dilihat di Museum Islam Samudera Pasai dan Museum Aceh. Selain lokasinya yang nyaman, kamu juga bisa lebih mudah mengetahui informasi lengkap peninggalan-peninggalan tersebut. Nah, buat kamu yang ingin berwisata di Aceh, kamu bisa pesan hotel liburan di Traveloka. Manfaatkan opsi payment yang mudah mulai dari bayar langsung hingga fitur PayLater Traveloka.
Itulah 10 peninggalan Kerajaan Samudera Pasai yang bernilai sejarah Islam di wilayah Aceh. Buat kamu yang tertarik mengunjungi salah satu peninggalan tersebut, kamu bisa percayakan akomodasi perjalananmu di Traveloka seperti tiket pesawat, kereta api, bus, dan tiket travel & shuttle. Pastikan gunakan kode kupon Traveloka dan promo bank seperti promo BCA untuk klaim potongan harga menarik saat melakukan pembelian. Yuk, mulai agendakan wisata sejarah sekaligus religi kamu bersama Traveloka.
Hotel di Aceh
Pesan Hotel di Travelo...
Lihat Harga