0

Dr. Jean Melanny

14 Jun 2021 - 3 min read

Benarkah Chloroquine Obat Corona? Cek Faktanya di Sini!

Benarkah chloroquine obat corona?

Pertanyaan ini mengemuka setelah pemerintah sempat membeli chloroquine dalam jumlah tidak sedikit saat awal pandemi tahun lalu. Di beberapa negara, obat yang dikenal sebagai penyembuh malaria ini sempat masuk rekomendasi pengobatan Covid-19, termasuk Indonesia.

Bahkan, muncul pesan viral yang beredar di grup-grup Whatsapp. Hal ini membuat chloroquine banyak dicari dan mudah didapat di toko online. Padahal, obat malaria tersebut masuk golongan obat keras. Maka, perlu dicek sejauh mana chloroquine bisa digunakan dalam pengobatan virus corona.

Apa itu Chloroquine?

Termasuk dalam golongan antimalaria, manfaat utama chloroquine adalah menangani dan mencegah terjadinya malaria pada penderita usia anak-anak dan dewasa. Obat ini dikonsumsi dalam bentuk tablet minum. Selama ini chloroquine dipakai mengobati malaria, amebiasis, rheumatoid arthritis, dan lupus.

Ketika pesan viral terkait chloroquine mencuat, Badan POM RI pun merilis pernyataan terkait hal ini. Mengingat belum ada obat untuk virus corona, obat tertentu bisa jadi pilihan terapi pengobatan dengan label ‘persetujuan penggunaan terbatas saat darurat’. Rilis tersebut keluar pada April 2020, mencakup chloroquine dan hydroxychloroquine.

Ketentuan pemberian obat pun ditegaskan oleh BPOM. Pertama, pemberian kedua jenis obat ini diprioritaskan pada pasien remaja dan dewasa berbobot minimal 50 kg. Kedua, pasien tersebut tengah menjalani perawatan di rumah sakit.

Sekalipun Inggris dan Amerika Serikat sudah menghentikan izin penggunaan chloroquine dan hydroxychloroquine, Indonesia masih melakukan penelitian observasional lanjutan di beberapa rumah sakit. Pada periode awal merebaknya pandemi, BPOM menemukan fakta berikut.

Kedua obat tersebut tidak membuat risiko kematian meningkat jika dibandingkan pengobatan standar Covid-19.
Muncul efek samping dalam jumlah sangat sedikit pada jantung, yaitu interval QT di rekaman jantung meningkat. Namun, efek tersebut tidak sampai mencetuskan kematian mendadak.
Pemakaian obat tersebut dipandang bisa memperpendek masa rawat inap pasien corona di rumah sakit.

Adapun informasi kehati-hatian terkait risiko gangguan jantung pada golongan obat antimalaria ini sudah diketahui sebelumnya. Maka, penggunaan obat hanya bisa diberlakukan pada pasien rawat inap dengan pengawasan dokter.

Mengapa Akhirnya Status Penggunaan Darurat Dicabut?

Setelah berjalan beberapa bulan, terhitung sejak November 2020, BPOM mencabut status Emergency Use Authorization atau EUA chloroquine dan hydroxychloroquine. Langkah ini diambil sebagai tindak lanjut temuan penelitian observasional di tujuh rumah sakit Indonesia selama kurun waktu empat bulan.

Laporan itu menyebutkan 28,2% dari 213 kasus yang menjalani terapi obat keduanya, timbul efek samping gangguan ritme jantung yang menyebabkan interval QT semakin panjang. Fakta itu memperkuat berbagai temuan serupa di negara lain, seperti Cina, Mesir, Iran, Amerika Utara, dan beberapa negara Eropa.

Meski pada awal pandemi chloroquine dan hydroxychloroquine berpotensi sebagai obat anti virus corona, studi lanjutan mengungkap hasil sebaliknya. Kedua jenis obat itu tidak terbukti efektif menekan angka kematian akibat Covid-19, termasuk tidak mengurangi jumlah pasien yang memerlukan ventilasi mekanis.

Lebih lanjut, kedua obat tadi dipandang mempunyai risiko lebih besar ketimbang manfaatnya. Beberapa efek samping yang muncul pada penggunaan obat tersebut selain gangguan ritme jantung adalah sakit kepala, diare, nafsu makan menurun, ruam kulit, sakit perut, dan perubahan mood. Semua keluhan itu berada pada level sedang, tetapi bisa memburuk jika kondisi pasien termasuk parah.

Meskipun begitu, BPOM hanya mencabut status EUA chloroquine dan hydroxychloroquine dalam rangkaian terapi farmakologi Covid-19 di Indonesia. Ini berarti kedua jenis obat tersebut dikembalikan fungsinya kepada pengobatan indikasi awal.

Jadi, jelas bahwa obat ini tidak boleh dikonsumsi secara bebas, apalagi dalam waktu lama. Demi keselamatan pasien, BPOM tidak lagi menyarankan chloroquine obat corona mengingat risiko yang dihadapi lebih besar ketimbang manfaatnya.

Referensi

Badan POM RI. 2020. “Penjelasan Badan POM RI Tentang Status Klorokuin dan Hidroksiklorokuin untuk Pengobatan COVID-19 pada Persetujuan Penggunaan Terbatas Saat Darurat.” June 19, 2020. https://www.pom.go.id/new/view/more/klarifikasi/116/PENJELASAN-BADAN-POM-RI-TENTANG---STATUS-KLOROKUIN-DAN-HIDROKSIKLOROKUIN-UNTUK-PENGOBATAN-COVID-19--PADA-PERSETUJUAN-PENGGUNAAN-TERBATAS-SAAT-DARURAT.html

Badan POM RI. 2020. “Penjelasan Badan POM RI Tentang Pencabutan Emergency Use Authorization Hidroksiklorokuin dan Klorokuin untuk Pengobatan COVID-19.” November 19, 2020. https://www.pom.go.id/new/view/more/klarifikasi/121/PENJELASAN-BADAN-POM-RI-TENTANG-Pencabutan-Emergency-Use-Authorization-Hidroksiklorokuin-dan-Klorokuin-untuk-Pengobatan-COVID-19.html

Singh, B., et al. 2021. “Chloroquine or hydroxychloroquine for prevention and treatment of COVID‐19”. February 12, 2021. https://www.cochranelibrary.com/cdsr/doi/10.1002/14651858.CD013587.pub2/full

Tags:
covid-19
Selalu Tahu Kabar Terbaru
Dapatkan berbagai rekomendasi travel & gaya hidup serta info promo terkini dengan berlangganan newsletter kami.
Langganan