Saat kondisi keuangan terguncang, baik secara individual maupun global, dunia konsumen sering menjadi tidak menentu. Financial distress atau tekanan finansial bisa mengubah cara kita melihat kebutuhan, keinginan, dan bagaimana kita mengelola sumber daya.
Salah satu fenomena paling mencolok yang muncul dari situasi ini adalah panic buying. Blog ini membahas penyebab di balik kepanikan tersebut, dampak ekonomi yang mungkin terjadi, serta langkah-langkah praktis untuk membantu konsumen tetap rasional dalam pengambilan keputusan saat tekanan finansial terjadi.
Ketika menghadapi ketidakpastian finansial, beberapa faktor psikologis dapat mendorong kita untuk mengambil keputusan impulsif, seperti membeli barang dalam jumlah besar atau aktivitas lain yang tidak sepenuhnya rasional. Beberapa alasan umum meliputi:
Ketika kita merasa sebuah barang penting akan sulit ditemukan di masa depan, pikiran langsung menyuruh kita untuk 'mengamankan' barang tersebut dalam jumlah besar. Ketakutan ini sering diperburuk oleh cerita-cerita tentang kelangkaan di media atau lingkaran sosial kita.
Melihat orang lain memborong barang tertentu dapat memicu reaksi serupa. Ketakutan untuk "tertinggal" membuat kita merasa harus ikut-ikutan membeli, meskipun kebutuhan belum tentu ada.
Saat berada dalam situasi penuh stres seperti tekanan finansial, kemampuan otak kita untuk membuat keputusan yang rasional dan terencana menjadi lemah.
Hasilnya? Pembelian besar-besaran yang tidak hanya berdampak pada keuangan individu tetapi juga pasokan barang di pasar.
Fenomena panic buying bukanlah hal baru. Beberapa contoh dari masa lalu memperlihatkan pola yang berulang saat terjadi financial distress atau ketidakpastian ekonomi.
Selama krisis finansial Asia 1997, banyak rumah tangga di negara-negara terdampak mulai mengamankan makanan pokok seperti beras dan minyak. Fenomena ini menyebabkan harga komoditas melonjak tinggi.
Salah satu contoh paling segar adalah lonjakan pembelian kertas toilet, sembako, dan masker wajah selama pandemi COVID-19. Ketakutan akan penguncian wilayah serta ketidakpastian mengenai pasokan barang membuat rak toko kosong hanya dalam hitungan jam.
Lonjakan harga minyak dunia pada 1970-an yang disebabkan oleh embargo minyak OPEC mendorong panic buying untuk bahan bakar. Para pengemudi bergegas untuk mengisi penuh tangki kendaraan mereka, dan antrean panjang di SPBU menjadi pemandangan umum.
Setiap contoh ini menunjukkan bahwa panic buying tidak hanya menyebabkan ketidaknyamanan, tetapi juga dapat memperburuk masalah ekonomi pada skala yang lebih besar.
Di tengah tekanan ekonomi global, mulai dari inflasi hingga potensi resesi, banyak keluarga merasa cemas tentang apa yang menunggu di depan. Kekhawatiran ini adalah penyebab utama munculnya kebiasaan panic buying.
Beberapa pemicu yang relevan saat ini adalah:
Namun, kepanikan hanya memperparah masalah ini. Lantas, apa yang bisa dilakukan konsumen untuk tetap tenang?
Agar tidak terjebak dalam pola panic buying yang membahayakan keuangan, ada beberapa hal yang bisa Anda lakukan, yaitu sebagai berikut.
Sebelum membeli, tanyakan pada diri Anda, “Apakah saya benar-benar membutuhkan ini sekarang?” Buat daftar kebutuhan sebelum pergi berbelanja dan patuhi daftar tersebut.
Tetapkan anggaran mingguan atau bulanan untuk pengeluaran rumah tangga. Ini membantu menjaga pengeluaran tetap terkendali.
Saat merasa cemas, hindarilah kegiatan berbelanja. Anda lebih mungkin melakukan pembelian impulsif ketika emosional.
Cari informasi dari sumber terpercaya sebelum memutuskan untuk membeli barang karena isu kelangkaan. Sering kali informasi itu tidak benar atau dibesar-besarkan.
Daripada membeli dalam jumlah besar secara impulsif, mulailah mencicil barang-barang kebutuhan yang benar-benar penting sesuai anggaran.
Media memainkan peran besar dalam membangun persepsi tentang kelangkaan barang, yang pada akhirnya memicu panic buying.
Cara terbaik untuk menghadapi pengaruh media? Fokus pada sumber berita yang kredibel dan hindari terjebak dalam perdebatan panik di media sosial.
Financial distress adalah situasi yang tidak menyenangkan, tetapi bukan tidak dapat diatasi. Dengan memahami pola perilaku yang muncul dari tekanan finansial dan membuat keputusan secara rasional, konsumen dapat menjaga stabilitas hidup mereka sekaligus mengurangi dampak buruk pada ekonomi.
Dengan situasi global yang tidak menentu, penting bagi kita semua untuk tetap tenang, terinformasi, dan penuh kendali saat menghadapi tekanan finansial. Apakah itu melalui pengelolaan anggaran yang bijak, menghindari panic buying, atau menjadi pintar dalam memilih sumber berita, langkah kecil tersebut dapat menciptakan dampak besar yang positif.