Mengenal Apa Itu Fenomena Quiet Quitting, Penyebab & Dampaknya

Financial Bestie
24 Sep 2025 - Waktu baca 4 menit

Istilah quiet quitting mungkin baru ramai dibicarakan di berbagai lini media sosial, diskusi HR, atau di warung kopi tempat para pekerja Indonesia biasa berkumpul. Fenomena ini bukan lagi tren sesaat, melainkan sinyal penting perubahan besar dalam cara masyarakat memandang karier dan hidup. 

Artikel ini akan membedah definisi, sejarah, ciri-ciri, penyebab, hingga dampak quiet quitting, khususnya di Indonesia. Dengan begitu, kamu akan lebih memahami pergeseran pola kerja ini. Barangkali kamu pernah atau sedang mengalaminya sendiri.

Pengertian Quiet Quitting

Seiring meningkatnya tuntutan dan tekanan di dunia kerja, banyak pekerja mulai mempertanyakan manfaat dari terus-menerus "mengorbankan diri" demi perusahaan. Di sinilah istilah quiet quitting muncul ke permukaan: sebuah pilihan sadar untuk membatasi pekerjaan hanya sesuai job description, tanpa inisiatif tambahan atau ambisi berkinerja di luar batas peran.

Quiet quitting adalah kondisi di mana karyawan memutuskan untuk hanya mengerjakan tugas sesuai kontrak atau deskripsi pekerjaannya. Mereka tetap hadir secara fisik dan menyelesaikan tanggung jawab dasar, tetapi secara psikologis dan emosional mulai menjauh dari keterlibatan aktif dalam proyek atau tim. 

Fenomena ini juga sering dikaitkan dengan menurunnya motivasi dan partisipasi tanpa ada deklarasi pengunduran diri secara resmi. Quiet quitting bukan berarti pemalas; mereka tetap bekerja, namun memilih untuk tidak berlebihan demi menjaga keseimbangan hidup.

Ciri-Ciri Quiet Quitting

Fenomena ini dapat diamati dari perubahan perilaku dan pola kerja karyawan, baik secara langsung maupun tersirat. Quiet quitting bukan hanya tentang jam kerja, tapi juga bagaimana seseorang berinteraksi dengan lingkungan kerja.

1. Perilaku di Lingkungan Kerja

Mereka yang quiet quitting biasanya menjalankan tugas secara mekanis, sesuai deskripsi pekerjaan. Tidak ada usaha lebih, tidak ada inisiatif, bahkan menghindari keterlibatan dalam proyek tambahan. Jika biasanya seorang staf aktif ikut brainstorming atau jadi sukarelawan panitia acara kantor, mereka yang quiet quitting akan berkata, "Maaf, itu di luar jobdesc saya." 

Pekerja dengan sikap quiet quitting hanya melakukan apa yang tertulis di kontrak. Hal ini bisa terlihat dari interaksi sehari-hari. Misalnya, seorang pegawai administrasi hanya merekap data, tanpa mau membantu bagian lain, atau enggan menerima tugas dadakan di luar jam kerja. Selain itu, mereka enggan terlibat dalam rapat tambahan, proyek sukarela, atau brainstorming ide baru. Jika kantor biasanya mendorong kontribusi lintas divisi, mereka yang quiet quitting cenderung menjaga jarak demi menjaga keseimbangan waktu dan energi.

2. Perubahan Pola Komunikasi dan Motivasi

Secara perlahan, mereka menunjukkan penurunan antusiasme dan keterlibatan aktif dalam diskusi, kegiatan sosial kantor, atau komunikasi tim. Rasa memiliki terhadap perusahaan menjadi rendah, dan motivasi kerja hanya didasari tanggung jawab minimal. Antusiasme karyawan yang quiet quitting biasanya tampak menurun. Mereka cenderung menyelesaikan pekerjaan secara "biasa saja" tanpa ekspresi antusiasme atau ambisi tinggi. 

Dalam pertemuan tim atau sesi evaluasi, mereka akan cenderung pasif atau memilih diam. Secara emosional, mereka lebih menjaga diri. Tidak mau terlalu larut dalam drama kantor, tidak terlalu memiliki rasa bangga terhadap pencapaian tim, dan lebih memilih untuk menjaga batas profesional, daripada terlibat secara personal.

Penyebab Quiet Quitting

Quiet quitting tidak terjadi begitu saja. Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi, baik dari sisi internal karyawan maupun lingkungan kerja itu sendiri.

1. Faktor Internal dari Karyawan

Banyak karyawan memutuskan quiet quitting karena butuh keseimbangan hidup dan kerja. Mereka mulai sadar bahwa pengorbanan waktu, energi, dan mental untuk mengejar karier tanpa batas sering kali tidak sepadan dengan hasil yang didapat. Karyawan membutuhkan waktu untuk keluarga, hobi, kesehatan, dan kehidupan sosial. 

Mereka yang lelah dengan rutinitas dan tekanan menyadari pentingnya menjaga work-life balance. Quiet quitting menjadi solusi praktis untuk menghindari burnout, yaitu kelelahan fisik dan emosional akibat tekanan kerja berlebihan. Selain itu, stagnasi atau minim tantangan juga membuat karyawan enggan berjuang lebih keras. Ketika perusahaan tidak memberikan peluang berkembang, promosi, atau pelatihan baru, motivasi untuk inovasi dalam pekerjaan pun memudar. Akhirnya muncullah quiet quitting.

2. Faktor Lingkungan Organisasi

Lingkungan kerja yang tidak adaptif dan minim apresiasi sangat berperan dalam mendorong quiet quitting. Karyawan yang merasa tidak dihargai akan kurang antusias dan cenderung menarik diri dari peran ekstra. Pengakuan serta penghargaan atas hasil kerja sangat penting. Ketika usaha ekstra yang dilakukan tidak mendapat apresiasi, karyawan merasa tidak dihargai dan akhirnya memilih untuk membatasi diri sesuai jobdesc saja. 

Rutinitas monoton tanpa feedback positif mempercepat proses disengagement. Budaya kerja yang kaku dan gaya kepemimpinan otoriter membuat karyawan kehilangan ruang untuk berekspresi dan berkembang. Kontrol berlebihan dari atasan dan minimnya dialog terbuka membuat quiet quitting semakin masif.

Dampak Quiet Quitting

Dampaknya terasa di berbagai lapisan. Mulai dari karyawan individual hingga organisasi tempat mereka bekerja.

1. Dampak bagi Individu Pekerja

Untuk individu, fenomena ini punya dua sisi. Di satu sisi, quiet quitting bisa membantu menjaga kesehatan mental dan work-life balance. Namun, di sisi lain, mereka juga berisiko mengalami ketidakpuasan berkepanjangan dan stagnasi karier. Karyawan yang memilih quiet quitting sering merasa lebih tenang karena beban kerja berkurang dan waktu untuk diri sendiri bertambah. 

Namun, jika disengagement terlalu lama, stress lain bisa muncul, seperti rasa hampa atau tidak bermakna dalam pekerjaan. Quiet quitting bisa jadi penghalang pengembangan karier. Karyawan yang tidak proaktif cenderung dilewatkan dalam promosi atau pelatihan. Risiko lain adalah penurunan sense of achievement, rasa bangga terhadap pekerjaan menjadi hilang.

2. Dampak bagi Organisasi dan Tim

Organisasi pun tak luput dari dampaknya. Mulai dari penurunan produktivitas, inovasi hingga tantangan membangun budaya perusahaan yang sehat. Tim yang dipenuhi dengan quiet quitters cenderung stagnan. Target sulit dicapai, beban kerja tidak merata, dan kemajuan proyek melambat drastis. 

Produktivitas organisasi menurun seiring dengan semangat kerja yang sepi. Quiet quitting menantang HR dan manajerial untuk membangun budaya kerja yang benar-benar inklusif dan apresiatif. Perusahaan yang gagal menumbuhkan engagement akan kehilangan talenta terbaik dan reputasi sebagai tempat kerja yang inovatif.

Melihat fenomena quiet quitting, jelas bahwa mencari keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan adalah kebutuhan riil, bukan sekadar keinginan. Banyak perusahaan kini mulai fokus pada employee wellbeing dan fleksibilitas kerja, menawarkan berbagai solusi agar karyawan tetap produktif tanpa mengorbankan kesehatan mental.

Salah satu cara terbaik untuk menjaga keseimbangan hidup dan kerja adalah dengan memanfaatkan waktu luang untuk me time atau traveling.  Bayangkan kamu baru saja melewati pekan yang melelahkan. Daripada larut dalam stress akibat tekanan kerja, kamu bisa memanfaatkan fitur pencarian hotel, tiket pesawat, dan destinasi wisata dari Traveloka untuk merancang liburan singkat, baik sendiri, bersama keluarga, atau teman dekat. Dengan begitu, work-life balance yang selama ini diidamkan bisa benar-benar tercapai dan kamu siap kembali bekerja dengan semangat baru.

Namun, ada kalanya kamu ingin merencanakan liburan, tapi merasa bahwa anggaran belum sepenuhnya siap. Tenang, kini Traveloka menyediakan solusi praktis dengan TPayLater. Dengan TPayLater, kamu bisa melakukan pembayaran untuk pemesanan tiket pesawat, hotel, atau paket liburan secara cicilan, tanpa perlu menunggu sampai seluruh dana tersedia. Metode pembayaran ini memungkinkan kamu untuk menikmati liburan atau perjalanan tanpa harus menunda-nunda karena masalah keuangan.

Quiet quitting mungkin menjadi tantangan baru bagi dunia kerja Indonesia, tapi dengan memilih solusi yang tepat, mulai dari komunikasi efektif, pencarian passion, hingga waktu untuk traveling, keseimbangan hidup bukan lagi sekadar mimpi. Nikmati hidup, optimalkan pekerjaan, dan ciptakan momen-momen bahagia bersama Traveloka agar kamu tetap jadi versi terbaik dari diri sendiri, baik di kantor maupun di luar jam kerja.

Dalam Artikel Ini

• Pengertian Quiet Quitting
• Ciri-Ciri Quiet Quitting
• 1. Perilaku di Lingkungan Kerja
• 2. Perubahan Pola Komunikasi dan Motivasi
• Penyebab Quiet Quitting
• 1. Faktor Internal dari Karyawan
• 2. Faktor Lingkungan Organisasi
• Dampak Quiet Quitting
• 1. Dampak bagi Individu Pekerja
• 2. Dampak bagi Organisasi dan Tim
Hotel
Tiket Pesawat
Things to Do
Selalu Tahu Kabar Terbaru
Dapatkan berbagai rekomendasi travel & gaya hidup serta info promo terkini dengan berlangganan newsletter kami.
Langganan