Setiap orang di Indonesia, mulai dari pekerja urban di Jakarta hingga pelaku UMKM di kota kecil, pernah mengalami dilema membagi penghasilan. Ketika gaji awal bulan datang, tanpa sadar kita langsung memisahkannya untuk berbagai keperluan seperti bayar listrik, cicilan motor, tabungan, hingga dana darurat. Fenomena ini oleh ahli perilaku ekonomi disebut sebagai mental accounting.
Konsep ini tumbuh dan berkembang, memengaruhi cara generasi muda, keluarga, hingga profesional mengelola dan merencanakan keuangan mereka. Dalam artikel ini, kita akan membahas secara mendalam tentang konsep mental accounting, cara kerjanya, dampaknya, serta contoh penerapannya yang relevan di Indonesia. Mari pelajari bagaimana strategi sederhana ini dapat membuat pengelolaan uang Anda menjadi lebih cerdas dan terarah.
Memahami mental accounting sangat penting agar kita tahu mengapa dan bagaimana seseorang memperlakukan uang dengan cara tertentu, bahkan jika jumlahnya sama. Konsep ini membantu kita memahami pola pikir, proses pengambilan keputusan finansial, dan bias-bias yang sering tanpa sadar kita lakukan.
Berbicara tentang mental accounting, istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Richard Thaler pada tahun 1985. Ia mengamati bahwa sebagaimana perusahaan mencatat dan mengkategorikan pengeluaran dalam laporan keuangan, individu pada dasarnya melakukan proses serupa dalam pikirannya. Setiap orang melakukan pencatatan mental terkait bagaimana uang diterima, digunakan, dan dialokasikan. Ini meliputi pertimbangan rasional, emosional, bahkan kebiasaan yang diwariskan secara budaya.
Para ahli mendefinisikan mental accounting sebagai rangkaian proses kognitif di mana individu mencatat, mengelompokkan, serta mengevaluasi pengeluaran dan pemasukan dalam pikiran mereka sendiri. Lakoro (2022) menyebutkan bahwa mental accounting adalah teori yang membahas perilaku individu dalam mengelola keuangan, termasuk pencatatan, peringkasan, analisis, hingga evaluasi transaksi keuangan.
Richard Thaler menyebut mental accounting sebagai "sekumpulan operasi kognitif yang dipakai seseorang untuk mengorganisir, mengevaluasi, dan melacak aktivitas keuangannya". Lamberton (2015) juga menegaskan bahwa dalam proses tersebut, individu tidak selalu bertindak secara rasional sesuai teori ekonomi klasik, karena banyak keputusan berdasarkan persepsi subjektif tentang uang yang sama.
Setelah memahami pengertiannya, penting melihat bagaimana mental accounting bekerja dalam proses kognitif intern seseorang. Ini membentuk fondasi pengelolaan keuangan, baik secara sadar maupun tidak.
Proses ini terjadi secara otomatis setiap kali seseorang menerima, mengalokasikan, atau menghabiskan uang yang dimilikinya.Individu cenderung mengorganisasi uang ke dalam "akun" berdasarkan kategori pengeluaran. Contoh nyata di Indonesia seperti membedakan uang transportasi dari uang makan, atau memisahkan dana darurat dengan dana investasi.
Pengorganisasian ini membantu evaluasi dan pengendalian pengeluaran di setiap kategori, serta mengurangi kemungkinan pemborosan. Pembukuan bukan hanya milik akuntan. Setiap orang, baik sadar atau tidak, juga melakukan pencatatan keuangan di pikirannya. Meski tidak selalu dituliskan secara fisik, daftar mental ini memengaruhi seluruh pola konsumsi dan keputusan finansial seseorang. Hal ini juga yang membuat budgeting menjadi personal dan unik bagi tiap individu.
Banyak faktor membentuk bagaimana sistem mental accounting individu berkembang dan diterapkan. Jenis pendapatan sangat memengaruhi cara seseorang mengalokasikan uangnya. Pendapatan tetap biasanya cenderung dikelola lebih hati-hati dan dialokasikan jelas: "gaji untuk hidup sehari-hari", sedangkan pendapatan tidak terduga seperti bonus, gratifikasi, atau hadiah sering dianggap "uang gratis" dan rawan dihabiskan secara impulsif.
Di Indonesia, budaya gotong royong, tradisi arisan, serta kebiasaan menabung di kalangan keluarga telah membentuk pola pembagian uang yang khas. Lingkungan sosial dan norma masyarakat juga memengaruhi bagaimana seseorang membuat kategori keuangan di dalam pikirannya. Perubahan pola konsumsi, pengaruh digitalisasi, dan tren gaya hidup urban semakin memperkaya variasi mental accounting di masyarakat.
Dampak dari penerapan mental accounting sangat nyata, baik positif maupun negatif. Dampaknya bisa membantu individu jadi lebih disiplin, namun juga bisa memicu bias dan pengelolaan keuangan yang tidak efisien bila tidak disadari.
Pengelolaan uang berbasis mental accounting memiliki beberapa keunggulan signifikan. Dengan membagi uang ke dalam beberapa kategori, individu lebih mudah mengontrol pengeluaran. Budgeting keluarga jadi lebih terencana, risiko boros menurun, dan kemampuan menahan diri dari pembelian impulsif meningkat.
Misalnya, membatasi jajan di kafe hanya Rp 200 ribu per bulan bisa membantu menghindari pembelian yang tidak diperlukan. Pembagian uang secara mental membantu orang menargetkan porsi untuk tabungan maupun investasi sebelum membelanjakan sisanya. Dengan cara ini, tujuan keuangan di masa depan lebih mudah tercapai, dan kecemasan finansial menurun.
Di sisi lain, mental accounting juga membawa beberapa risiko. Jika terlalu kaku membagi uang, individu mungkin kehilangan fleksibilitas. Contohnya, ketika dana hiburan habis padahal ada sisa di kategori lain, sementara kebutuhan darurat tidak tertangani dengan baik. Fenomena ini dapat mengarah pada penggunaan dana darurat yang seharusnya hanya untuk kebutuhan penting.
Mental accounting bisa membuat individu merasa "boleh" berhutang untuk kategori tertentu, seolah hutang konsumsi tidak sepenting hutang produktif. Ini juga menjelaskan mengapa beberapa orang merasa nyaman menambah utang demi memenuhi keinginan sesaat, karena mereka sudah menganggap utang sebagai pos terpisah dari kebutuhan utama.