Masjid Al-Alam Marunda, yang dikenal juga sebagai Masjid Si Pitung, merupakan masjid tertua di Jakarta dan menjadi saksi bisu perjalanan sejarah panjang kota ini. Berdiri kokoh sejak tahun 1527 di tepi Pantai Marunda, Jakarta Utara, masjid ini menyimpan cerita perjuangan, penyebaran Islam, dan jejak kolonialisme di pesisir utara Jawa. Lokasinya yang berada di dekat Laut Jawa membuat suasananya terasa khas—ditemani angin laut yang sejuk dan aroma garam yang menenangkan. Dengan arsitektur sederhana namun sarat makna, masjid ini dipercaya pernah menjadi tempat ibadah bagi Si Pitung, tokoh legendaris Betawi yang dikenal sebagai pejuang rakyat kecil.
Selain sebagai tempat beribadah, Masjid Al-Alam juga memiliki nilai historis dan kultural yang tinggi, mencerminkan peran pentingnya dalam perkembangan Islam dan identitas masyarakat pesisir. Kini, masjid ini tidak hanya menjadi destinasi religi, tapi juga lokasi wisata sejarah yang mengajak pengunjung menelusuri babak awal Jakarta sejak masa Sunda Kelapa.
Masjid Al-Alam didirikan pada tahun 1527 oleh pasukan Fatahillah, panglima Kesultanan Demak, sebagai bagian dari strategi spiritual sebelum menyerang Portugis di Sunda Kelapa. Saat itu, Sunda Kelapa adalah pelabuhan perdagangan yang ramai, dikuasai oleh Kerajaan Hindu Pajajaran dan menjadi incaran Portugis untuk ekspansi kolonial. Fatahillah, yang juga dikenal sebagai Faletehan, memimpin pasukan Muslim dari Demak dan Cirebon untuk merebut kota ini. Menurut Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia karya Abdul Baqir Zein, masjid ini dibangun sebagai tempat ibadah dan semangat bagi para pejuang sebelum kemenangan besar pada 22 Juni 1527, yang mengubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, artinya “kota kemenangan.”
Nama “Al-Alam” (berarti “dunia” atau “alam” dalam bahasa Arab) mencerminkan visi universal Islam, menyatukan komunitas multietnis seperti Jawa, Melayu, dan Arab yang tinggal di pelabuhan. Julukan “Masjid Si Pitung” muncul pada abad ke-19 karena kaitannya dengan pahlawan Betawi, Si Pitung, yang sering beribadah di sini. Meskipun menghadapi tantangan selama penjajahan Belanda dan Jepang, masjid ini tetap berdiri kokoh, menjadi simbol ketahanan Islam di Jakarta. Dari era Jayakarta, kolonial Batavia, hingga Jakarta modern, Masjid Al-Alam terus menjadi pusat spiritual dan budaya, menyimpan jejak awal Islam di ibu kota.
Arsitektur Masjid Al-Alam mencerminkan gaya masjid Jawa abad ke-16, yang sederhana namun fungsional, dengan pengaruh kuat dari tradisi Demak dan Banten. Bangunan aslinya kemungkinan menggunakan kayu, bambu, dan atap ijuk, dengan desain tajug (atap limas bertumpang) yang khas pada masjid-masjid awal Jawa. Struktur ini biasanya didukung oleh empat tiang utama (soko guru), dengan serambi terbuka untuk kegiatan komunal seperti pengajian. Meskipun renovasi selama berabad-abad mungkin telah mengganti material asli dengan bata atau beton, masjid ini diperkirakan mempertahankan bentuk dasar seperti mihrab sederhana dan ruang sholat yang luas.
Elemen peninggalan sejarah yang menonjol adalah lokasinya di tepi pantai, mencerminkan peran masjid sebagai pusat komunitas maritim. Meskipun tidak ada dokumentasi spesifik tentang artefak asli, masjid ini mungkin menyimpan peninggalan seperti mimbar kayu tua, kaligrafi sederhana, atau batu nisah dari makam tokoh lokal, serupa dengan masjid-masjid sezaman. Renovasi modern mungkin menambahkan ubin atau ornamen Betawi, namun suasana historis tetap terasa dari tata letaknya yang menghadap laut. Dibandingkan dengan Masjid Agung Demak, Masjid Al-Alam lebih kecil namun sama-sama mencerminkan semangat dakwah awal Islam. Posisi pantainya juga memengaruhi desain, dengan lantai ditinggikan untuk mengantisipasi banjir rob, menunjukkan adaptasi cerdas terhadap lingkungan.
Masjid Al-Alam adalah tonggak penting dalam penyebaran Islam di Jakarta, yang pada abad ke-16 masih didominasi oleh pengaruh Hindu-Buddha. Sebagai pusat kegiatan pasukan Fatahillah, masjid ini menjadi simbol kemenangan Islam atas Portugis, memperkuat identitas Jayakarta sebagai kota Muslim. Pedagang dari Jawa, Melayu, Tionghoa, dan Timur Tengah yang singgah di Sunda Kelapa menggunakan masjid ini untuk beribadah, menjadikannya melting pot budaya Islam. Ulama lokal menggelar pengajian dan dakwah, mengintegrasikan ajaran Islam dengan tradisi Betawi, seperti seni marawis, qasidah, dan silat.
Selama penjajahan Belanda, Masjid Al-Alam tetap menjadi benteng spiritual, meskipun Belanda membatasi aktivitas keagamaan di luar Batavia. Masjid ini juga berperan dalam menjaga solidaritas komunitas maritim Marunda, yang terdiri dari nelayan dan pedagang Muslim. Pada masa pendudukan Jepang dan kemerdekaan, masjid ini terus menjadi pusat kegiatan sosial, seperti perayaan Maulid Nabi dan penggalangan dana untuk masyarakat miskin. Pengaruhnya terhadap budaya Betawi terlihat dari tradisi lisan dan seni yang berkembang di sekitar Marunda, menjadikan masjid ini tidak hanya tempat ibadah, tetapi juga pusat pelestarian identitas Islam lokal.
Masjid Al-Alam terletak di Jalan Masjid Al-Alam No. 1, Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, tepat di tepi pantai yang menghadap Laut Jawa. Lokasinya menawarkan pemandangan laut yang memesona, dengan aroma garam dan suara ombak yang menambah suasana khusyuk. Berjarak sekitar 20 km dari Monas, masjid ini dapat dicapai dengan:
Masjid Al-Alam menyimpan banyak kisah yang menambah pesonanya. Yang paling terkenal adalah kaitannya dengan Si Pitung, pahlawan Betawi yang hidup pada abad ke-19. Si Pitung, dikenal sebagai “Robin Hood Betawi,” konon sering beribadah di masjid ini sebelum atau sesudah aksinya merampas harta Belanda untuk dibagikan kepada rakyat miskin. Legenda lokal menyebutkan bahwa ia pernah bersembunyi di sekitar masjid, memanfaatkan labirin kampung Marunda untuk menghindari kejaran Belanda. Nama “Masjid Si Pitung” menjadi populer di kalangan warga, mengabadikan semangat perlawanannya.
Kisah lain berpusat pada peran masjid sebagai tempat singgah pelaut dan pedagang pada masa Sunda Kelapa. Pedagang dari Gujarat atau Malaka sering berlabuh di Marunda, berdoa di Masjid Al-Alam sebelum melanjutkan perjalanan. Hingga kini, masjid ini menjadi pusat perayaan tradisional seperti Maulid Nabi, di mana warga Marunda menggelar shalawatan, marawis, dan kenduri, lengkap dengan ondel-ondel dan tarian Betawi. Pengunjung modern sering terpesona oleh kontras antara kesederhanaan masjid dan kekayaan sejarahnya, merasakan aura damai saat duduk di serambi sambil memandang laut. Salah satu cerita unik adalah tentang pohon tua di halaman masjid, yang konon ditanam pada masa awal berdirinya, menjadi simbol keabadian masjid di tengah perubahan zaman.
Yuk, lengkapi perjalananmu di Jakarta dengan mengikuti tur mengelilingi Jakarta rekomendasi dari Traveloka, berikut ini!
Masjid Al-Alam bukan hanya sekadar tempat ibadah, tetapi juga simbol penting yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Sebagai saksi bisu perjuangan sejarah Jakarta, masjid ini menawarkan pengalaman spiritual dan edukatif yang mendalam. Selain menikmati keindahan arsitektur dan lokasinya yang strategis, pengunjung juga dapat menyelami cerita sejarah yang kaya melalui setiap sudutnya. Jadi, pastikan untuk mengunjungi Masjid Al-Alam, mencicipi kuliner khas, dan melanjutkan perjalanan sejarah ke Museum Bahari atau Sunda Kelapa untuk memperkaya pengalaman wisata religimu.