Indonesia dikenal memiliki kekayaan budaya yang luar biasa, salah satunya adalah bahasa daerah yang mencerminkan sejarah dan identitas masyarakat setempat. Salah satu bahasa yang menarik perhatian adalah Bahasa Wolio, yang berasal dari Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Bahasa ini dulunya menjadi bahasa resmi dalam Kesultanan Buton, dan hingga kini masih digunakan oleh masyarakat di Kota Bau-Bau dan sekitarnya. Jika Anda berencana untuk menjelajahi Pulau Buton, mengenal Bahasa Wolio bisa memberikan pengalaman yang lebih autentik.
Dalam artikel ini, Traveloka akan membahas lebih lanjut tentang Bahasa Wolio, sejarahnya, bagaimana bahasa ini digunakan dalam kehidupan sehari-hari, serta rekomendasi tempat wisata di Pulau Buton yang tidak boleh Anda lewatkan.
Bahasa Wolio memiliki peran penting dalam sejarah Kesultanan Buton. Sebagai bahasa resmi kerajaan, Bahasa Wolio digunakan sebagai alat komunikasi lintas wilayah di seluruh daerah yang dikuasai oleh Kesultanan Buton, termasuk Buton, Kepulauan Kabaena, Wakatobi, dan Muna. Di era kejayaannya, Bahasa Wolio berfungsi sebagai lingua franca atau bahasa perantara yang menghubungkan masyarakat dari berbagai daerah di Kesultanan Buton.
Selain itu, Bahasa Wolio juga digunakan dalam pengajaran dan komunikasi resmi di lingkungan kerajaan. Bahasa ini memiliki pengaruh kuat dari Bahasa Melayu dan Arab, terutama dalam kosakata dan penulisan aksaranya. Menariknya, aksara Wolio menggunakan tulisan Arab, yang semakin memperkuat jejak sejarah Kesultanan Buton sebagai pusat kekuasaan yang terhubung dengan perdagangan dan budaya Islam di Nusantara.
Thu, 28 Aug 2025
Lion Air
Jakarta (CGK) ke Kendari (KDI)
Mulai dari Rp 1.508.500
Wed, 20 Aug 2025
Lion Air
Jakarta (CGK) ke Kendari (KDI)
Mulai dari Rp 1.622.500
Sun, 24 Aug 2025
Garuda Indonesia
Jakarta (CGK) ke Kendari (KDI)
Mulai dari Rp 1.903.500
Bahasa Wolio berkembang seiring dengan terbentuknya Kesultanan Buton pada abad ke-14. Kesultanan ini dikenal sebagai salah satu kekuatan besar di Indonesia Timur, menguasai wilayah yang cukup luas. Di masa pemerintahan Kesultanan Buton, Bahasa Wolio memainkan peran strategis sebagai bahasa resmi, digunakan dalam administrasi, hukum, serta upacara adat.
Pada masa itu, Kesultanan Buton berinteraksi dengan banyak bangsa lain melalui perdagangan, sehingga Bahasa Wolio juga mendapat pengaruh dari bahasa luar seperti Melayu dan Arab. Bahasa Melayu berperan penting sebagai bahasa perdagangan, sementara pengaruh Bahasa Arab datang melalui agama Islam yang menjadi agama resmi kesultanan.
Meski Kesultanan Buton berakhir pada awal abad ke-20, warisan budaya dan bahasa Wolio tetap hidup hingga kini. Bahasa Wolio masih digunakan oleh masyarakat di beberapa wilayah, terutama di Kota Bau-Bau, yang kini menjadi pusat pemerintahan dan budaya dari wilayah bekas Kesultanan Buton.
Bahasa Wolio merupakan salah satu bahasa yang paling menonjol di wilayah bekas Kesultanan Buton, Sulawesi Tenggara. Selain Wolio, ada beberapa bahasa daerah lain yang juga digunakan di kawasan tersebut, seperti Bahasa Pancana (Muna), Cia-Cia, Moronene, Kulisusu, dan bahasa Kepulauan Tukang Besi (Wakatobi). Namun, Bahasa Wolio memiliki keunikan tersendiri yang membuatnya berbeda dan sangat berpengaruh di wilayah Kesultanan Buton, terutama sebagai bahasa resmi yang digunakan di pusat pemerintahan dan keraton.
Pada masa pemerintahan Kesultanan Buton, Bahasa Wolio digunakan secara luas di pusat pemerintahan di Keraton Buton, yang kini berada di Kota Bau-Bau. Sebagai bahasa resmi kesultanan, Wolio berfungsi sebagai bahasa administrasi, hukum, dan komunikasi formal di tingkat kerajaan. Inilah yang menjadikan Bahasa Wolio tidak hanya sebagai alat komunikasi antarwarga, tetapi juga sebagai simbol status dan kekuasaan, memperkuat posisinya sebagai bahasa yang memiliki kedudukan istimewa dibandingkan bahasa-bahasa lain di wilayah tersebut.
Salah satu aspek yang membuat Bahasa Wolio unik adalah sistem aksaranya. Bahasa Wolio memiliki sistem aksara yang baku, di mana aksara tersebut diadopsi dari Aksara Arab dan Aksara Jawi (Arab-Melayu). Penggunaan aksara ini tidak hanya memperkuat koneksi Kesultanan Buton dengan dunia Islam, tetapi juga menjadikan Bahasa Wolio sebagai bahasa tertulis yang kuat. Bukti dari penggunaan aksara ini dapat dilihat dari berbagai naskah kuno yang masih tersimpan hingga kini, yang menjadi salah satu warisan penting budaya Buton.
Naskah-naskah kuno dalam Bahasa Wolio tidak hanya mencatat sejarah dan budaya masyarakat Buton, tetapi juga memuat tulisan-tulisan dalam bahasa Melayu, Arab, Bugis, Belanda, dan Jepang. Naskah-naskah ini kini banyak ditemukan di koleksi almarhum Abdul Mulku Zahari di Kota Bau-Bau, yang memiliki peran penting dalam pelestarian warisan tertulis Kesultanan Buton. Keberadaan naskah-naskah kuno ini menjadi bukti konkret bahwa Bahasa Wolio memainkan peran penting tidak hanya dalam komunikasi lisan, tetapi juga sebagai bahasa literatur dan dokumentasi resmi.
Keunikan lainnya dari Bahasa Wolio terletak pada kosa kata yang dipengaruhi oleh berbagai bahasa asing, seperti Bahasa Melayu, Arab, dan Pancana. Pengaruh kuat dari Bahasa Melayu datang melalui perdagangan dan interaksi dengan pedagang dari luar, sementara Bahasa Arab membawa unsur keagamaan melalui penyebaran Islam di wilayah Kesultanan Buton. Bahasa Pancana, yang juga digunakan oleh masyarakat di sekitar Pulau Buton, memberikan pengaruh pada perkembangan leksikal Wolio, menjadikan bahasa ini semakin kaya dan beragam dalam kosa katanya.
Untuk wisatawan yang ingin mendalami budaya lokal di Pulau Buton, memahami beberapa kata dan frasa Bahasa Wolio bisa sangat bermanfaat. Berikut adalah beberapa contoh bahasa sehari-hari yang sering digunakan:
1. Apa kabar? – Ntoi no'no?
2. Selamat pagi – Amedi wo’do
3. Terima kasih – Sumanga
4. Dimana? – Ise?
5. Mari makan – Nomangangka
6. Berapa harganya? – Piri hargano?
7, Selamat tinggal – Ameda sia
8. Apa ini? – Apa itu no’no?
Menggunakan bahasa setempat saat berkomunikasi dengan penduduk lokal tidak hanya mempererat hubungan, tetapi juga memberikan rasa hormat kepada budaya mereka. Selain itu, penduduk setempat cenderung lebih ramah dan terbuka ketika wisatawan mencoba berbicara dalam Bahasa Wolio.
Selain warisan budaya yang kaya, Pulau Buton juga menawarkan berbagai destinasi wisata yang menakjubkan. Berikut beberapa tempat wisata yang wajib Anda kunjungi saat berada di Buton:
Shutterstock.com
Kepulauan Wakatobi terkenal sebagai salah satu surga bawah laut terbaik di dunia. Terdiri dari empat pulau utama—Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko—Wakatobi adalah destinasi favorit bagi para penyelam. Dengan keanekaragaman hayati laut yang luar biasa, terumbu karang yang cantik, dan air laut yang jernih, Wakatobi menawarkan pengalaman menyelam dan snorkeling yang tak tertandingi. Tidak hanya itu, Anda juga bisa menikmati keindahan pantai berpasir putih dan keunikan budaya lokal.
Shutterstock.com
Benteng Keraton Buton di Kota Bau-Bau adalah benteng terluas di dunia dengan luas mencapai 23 hektar. Benteng ini dibangun pada abad ke-16 dan menjadi pusat pertahanan Kesultanan Buton. Dari atas benteng, Anda dapat menikmati pemandangan Kota Bau-Bau yang indah dan panorama laut yang menakjubkan. Selain itu, benteng ini juga memiliki berbagai bangunan bersejarah yang masih terjaga dengan baik, seperti masjid, rumah adat, dan balai pertemuan.
Terletak di dekat Kota Bau-Bau, Pantai Nirwana adalah salah satu pantai paling populer di Pulau Buton. Dengan air laut yang jernih berwarna biru kehijauan dan pasir putih yang halus, pantai ini adalah tempat yang sempurna untuk bersantai. Pengunjung juga dapat melakukan aktivitas snorkeling, berenang, atau sekadar menikmati sunset yang memukau.
Gua Lakasa adalah salah satu tempat wisata alam yang unik di Buton. Gua ini menawarkan keindahan formasi stalaktit dan stalagmit yang memukau. Selain itu, terdapat danau bawah tanah yang jernih, membuat pengunjung bisa berenang di dalam gua. Gua ini cocok bagi mereka yang ingin merasakan petualangan alam yang berbeda.
Air Terjun Samparona terletak di Kabupaten Buton dan menjadi daya tarik wisata alam yang memukau. Air terjun ini memiliki ketinggian sekitar 50 meter dengan debit air yang deras, dikelilingi oleh hutan tropis yang asri. Suasana yang sejuk dan pemandangan yang alami membuat tempat ini cocok untuk wisatawan yang mencari ketenangan dan keindahan alam.
Desa Bajo yang terletak di Kepulauan Wakatobi menawarkan pengalaman wisata budaya yang menarik. Penduduk desa ini adalah suku Bajo, yang dikenal sebagai "pengembara laut" dan tinggal di rumah-rumah yang dibangun di atas air. Anda dapat berinteraksi dengan penduduk lokal, belajar tentang tradisi maritim mereka, serta menikmati keindahan laut dari dekat.
Sun, 17 Aug 2025
Lion Air
Jakarta (CGK) ke Luwuk (LUW)
Mulai dari Rp 2.142.300
Sun, 17 Aug 2025
Batik Air
Jakarta (CGK) ke Luwuk (LUW)
Mulai dari Rp 2.163.300
Sun, 17 Aug 2025
Sriwijaya Air
Jakarta (CGK) ke Luwuk (LUW)
Mulai dari Rp 2.216.600
Bahasa Wolio bukan hanya bagian penting dari sejarah Kesultanan Buton, tetapi juga cerminan budaya yang masih hidup di Pulau Buton hingga saat ini. Jika Anda ingin mendalami lebih jauh kekayaan budaya di Buton, menguasai beberapa frasa Wolio dapat memberikan pengalaman yang lebih autentik. Selain itu, Pulau Buton menawarkan berbagai tempat wisata yang menakjubkan, mulai dari keindahan bawah laut Wakatobi hingga Benteng Keraton Buton yang megah.
Segera rencanakan perjalanan Anda ke Pulau Buton dan Wakatobi dengan mudah melalui Traveloka. Pesan tiket pesawat, hotel, serta berbagai aktivitas wisata hanya dalam satu aplikasi. Nikmati pengalaman liburan terbaik dan pesan sekarang di Traveloka!
Tags:
bahasa wolio