Istilah “strawberry generation” mungkin sudah sering terdengar dalam beberapa tahun terakhir, terutama di media sosial, diskusi online, dan bahkan artikel opini. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan generasi muda yang dianggap memiliki karakteristik rapuh seperti buah stroberi—tampil menarik dan mulus di luar, tetapi mudah "rusak" ketika menghadapi tekanan atau tantangan.
Namun, apakah istilah ini sepenuhnya adil? Sebelum memberikan penilaian, penting untuk memahami lebih dalam apa yang dimaksud dengan strawberry generation, mulai dari pengertiannya, ciri-ciri yang melekat, hingga alasan mengapa fenomena ini muncul dalam masyarakat modern.
Fenomena strawberry generation tidak muncul begitu saja, melainkan merupakan hasil dari kombinasi berbagai faktor sosial, budaya, hingga pola asuh yang berbeda dibandingkan generasi sebelumnya. Teknologi yang berkembang pesat, kemudahan akses informasi, dan pendekatan pendidikan yang lebih berfokus pada kenyamanan sering kali menjadi sorotan dalam diskusi ini.
Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang karakteristik generasi ini, mengapa mereka sering disebut kurang tahan banting, serta bagaimana kita dapat memahami mereka lebih baik tanpa menghakimi. Mari eksplorasi fenomena ini dari sudut pandang yang lebih seimbang dan terbuka.
Strawberry generation adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan generasi muda yang dianggap mudah rapuh, rentan terhadap tekanan, serta dinilai kurang tahan banting menghadapi tantangan hidup. Nama “strawberry” dipilih sebagai metafora karena buah stroberi tampak cantik di luar namun mudah hancur dan lembek jika ditekan.
Istilah ini sering dilekatkan pada generasi yang lahir di rentang tahun 1980-an hingga 2000-an (bisa Gen Y dan Gen Z), terutama di wilayah Asia Timur seperti Taiwan, Hong Kong, Singapura, hingga akhirnya juga digunakan di Indonesia. Fenomena ini erat kaitannya dengan persepsi masyarakat tentang pola asuh, kecenderungan menghindari konflik, serta perubahan nilai kerja dan gaya hidup pada generasi muda.
Setiap generasi tentu punya karakteristiknya sendiri. Namun ada beberapa ciri khas yang sering diasosiasikan dengan strawberry generation, antara lain:
Banyak anggapan bahwa generasi stroberi cenderung menyerah saat dihadapkan pada tekanan kecil sekalipun, baik dalam lingkungan akademik, pekerjaan, maupun kehidupan pribadi. Hal ini sering kali disebabkan oleh kurangnya pengalaman dalam menghadapi situasi sulit secara langsung sejak usia dini.
Mereka cenderung memilih jalan yang aman dengan menghindari konfrontasi langsung dan lebih memilih zona nyaman. Akibatnya, keberanian mengambil risiko dan menghadapi kegagalan dinilai kurang menonjol. Pola pikir ini terkadang membuat mereka melewatkan peluang besar yang datang dengan tantangan.
Meski dikenal lebih kritis terhadap kebijakan, sistem, atau aturan lama, generasi ini juga dinilai sangat sensitif terhadap kritik atau penilaian dari orang lain. Sensitivitas ini seringkali membuat mereka rentan terhadap tekanan emosional dan sulit menerima masukan negatif secara konstruktif.
Ciri lain adalah fokus pada self-care, kesehatan mental, dan life balance, bahkan melebihi generasi sebelumnya yang lebih menomorsatukan kerja keras tanpa kompromi. Generasi ini percaya bahwa menjaga kesejahteraan pribadi adalah kunci untuk produktivitas jangka panjang.
Tumbuh bersama kemajuan teknologi, generasi ini sudah terbiasa dengan kemudahan digital. Hal ini membuat mereka cenderung mengandalkan solusi praktis dari gadget dan aplikasi. Ketergantungan ini, meski mempermudah hidup, terkadang mengurangi kemampuan mereka untuk menyelesaikan masalah secara manual.
Fenomena strawberry generation tidak muncul begitu saja. Ada beberapa faktor yang berperan dalam kemunculan karakteristik ini:
Banyak orang tua generasi sebelumnya (baby boomers dan Gen X) menerapkan pola asuh “helicopter parenting”, yaitu terlalu melindungi anak dari kegagalan dan tantangan, sehingga anak kurang terbiasa menghadapi kesulitan secara mandiri. Pola asuh ini menciptakan generasi yang cenderung lebih bergantung pada orang lain dalam menyelesaikan masalah.
Tekanan ekonomi, persaingan, serta lingkungan hidup yang semakin kompleks menuntut adaptasi berbeda. Generasi ini tumbuh ketika perubahan terjadi sangat cepat, mulai dari teknologi hingga budaya kerja. Hal ini menuntut mereka untuk terus belajar dan beradaptasi, namun seringkali memicu rasa cemas akan ketidakpastian masa depan.
Akses terhadap informasi yang sangat mudah membuat generasi muda lebih cepat mengetahui berbagai isu global maupun lokal, namun juga berpotensi menyebabkan stres akibat “information overload”. Selain itu, arus informasi yang tidak terfilter terkadang membuat mereka sulit membedakan fakta dari opini atau hoaks.
Perubahan nilai ke arah individualisme, termasuk pentingnya hak personal dan kebebasan berekspresi, juga membawa dampak pada pola pikir dan cara generasi ini merespons tekanan. Namun, fokus pada kebebasan ini kadang membuat mereka lebih rentan terhadap konflik ketika dihadapkan pada nilai-nilai kolektif dalam masyarakat.
Generasi stroberi terbiasa memperoleh sesuatu secara instan berkat kemajuan teknologi dan kemudahan pelayanan, sehingga ketahanan menghadapi proses panjang terkikis secara perlahan. Akibatnya, mereka cenderung mudah frustasi ketika kesuksesan atau hasil yang diinginkan memerlukan usaha yang berkelanjutan.
Fenomena strawberry generation bukan untuk dihakimi, melainkan dipahami. Setiap generasi tumbuh dengan tantangan dan keunikan zamannya masing-masing. Dengan memahami pengertian, ciri-ciri, dan penyebab strawberry generation, diharapkan masyarakat dapat lebih bijak beradaptasi pada perubahan dinamika sosial dan tidak terjebak pada stereotip negatif.
Jika kamu merasa termasuk dalam kelompok ini, jadikan kelebihan-kelebihanmu sebagai potensi positif. Fokuslah pada pengembangan diri, perluas pengalaman, dan jangan takut untuk menghadapi tantangan baru.