Dalam era transformasi digital yang semakin pesat, dua konsep inovatif di industri keuangan semakin sering didengar, neo banking vs open banking. Keduanya menawarkan solusi berbeda untuk meningkatkan layanan perbankan, memperluas inklusi keuangan, dan membuka peluang baru bagi masyarakat serta bisnis di Indonesia.
Namun, mana yang sebenarnya lebih cocok untuk kebutuhan dan karakteristik unik Indonesia? Mari kita telusuri bersama perbedaan, dampak, tantangan, serta potensi keduanya dalam lanskap keuangan Tanah Air.
Sebelum membandingkan keduanya secara mendalam, penting untuk memahami apa itu neo banking dan open banking. Kedua istilah ini seringkali dianggap mirip, padahal secara fundamental memiliki perbedaan mendasar yang memengaruhi cara kerja, model bisnis, hingga dampaknya bagi konsumen dan industri.
Neo banking merujuk pada bank digital yang seluruh layanannya dilakukan secara online tanpa kantor cabang fisik sama sekali. Layanan perbankan seperti simpanan, transfer, pembayaran, hingga pinjaman disediakan melalui aplikasi atau platform digital yang mudah diakses dari mana saja. Salah satu keunggulan utama neo bank adalah proses yang cepat, efisien, serta biaya operasional yang lebih rendah dibandingkan bank konvensional. Di Indonesia, kehadiran neo bank turut didorong untuk mendukung inklusi keuangan, terutama bagi masyarakat yang belum terjangkau oleh bank tradisional.
Model bisnis neo bank bisa murni dijalankan oleh perusahaan perbankan digital atau kolaborasi antara perusahaan teknologi dengan mitra bank, seperti yang terlihat pada beberapa contoh global seperti KakaoBank di Korea atau WeBank di Tiongkok. Namun, hingga kini, regulasi yang secara spesifik mengatur neo banking di Indonesia masih dalam tahap pengembangan dan penyesuaian, sehingga pelaku industri harus berhati-hati dalam menerapkan inovasinya.
Open banking adalah konsep di mana bank dan lembaga keuangan memberikan akses terbuka terhadap data serta layanan tertentu kepada pihak ketiga, umumnya startup fintech atau penyedia aplikasi keuangan lainnya. Akses ini diberikan dengan persetujuan dan otorisasi penuh dari nasabah sebagai pemilik data, sehingga memungkinkan terciptanya ekosistem keuangan yang lebih kolaboratif, inovatif, dan kompetitif. Dengan open banking, nasabah bisa memakai berbagai aplikasi keuangan terintegrasi secara aman, mulai dari mengelola rekening, melakukan pembayaran, hingga mengakses produk finansial lain dalam satu ekosistem.
Konsep open banking mulai berkembang pesat setelah adanya regulasi seperti Payment Services Directive (PSD) di Eropa, yang mewajibkan bank memberikan akses data kepada pihak ketiga dengan izin nasabah. Di Indonesia, inisiatif open banking mulai diadopsi melalui program Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025, dengan tujuan mempermudah integrasi layanan keuangan dan mendorong digitalisasi perbankan nasional.
Setelah memahami definisi dasarnya, kini saatnya membedah lebih detail perbedaan mendasar antara neo banking dan open banking dalam berbagai aspek berikut.
Neo bank beroperasi sepenuhnya digital tanpa kantor fisik, menawarkan layanan bank secara langsung ke nasabah melalui aplikasi. Model bisnis utamanya adalah efisiensi serta aksesibilitas layanan keuangan yang mudah dan murah.
Di sisi lain, open banking bukanlah model bisnis baru, melainkan sistem yang memungkinkan kolaborasi antara bank dan pihak ketiga melalui API (Application Programming Interface). Dengan open banking, bank bisa membuka akses layanan: seperti data rekening atau pembayaran kepada fintech untuk kemudian menciptakan produk baru atau layanan tambahan.
Di Indonesia, regulasi terhadap neo bank masih dalam tahap penyesuaian. Neo bank umumnya harus tetap tunduk pada aturan perbankan konvensional dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), meski hingga saat ini belum ada kerangka hukum yang mengatur spesifik mengenai neo bank.
Sementara untuk open banking, Bank Indonesia telah memasukkan open banking ke dalam strategi nasional melalui BSPI 2025, dengan fokus pada standardisasi API serta keamanan data demi mendorong integrasi dan inovasi di sektor keuangan.
Neo bank menawarkan pengalaman pengguna yang serba digital, dari pembuatan akun hingga transaksi, dan layanan pelanggan yang diotomasi. Proses lebih mudah, cepat, dan tanpa harus datang ke kantor cabang.
Open banking, di sisi lain, memberikan fleksibilitas dan personalisasi lebih tinggi karena nasabah dapat mengakses berbagai layanan keuangan lintas platform dalam satu aplikasi, berkat integrasi data dan layanan antarbank serta fintech. Inovasi layanan yang dihasilkan dari open banking pun cenderung lebih bervariasi dan sesuai kebutuhan konsumen modern.
Isu keamanan data menjadi perhatian utama untuk kedua konsep ini. Neo bank menekankan keamanan siber dan perlindungan data nasabah dalam seluruh layanannya secara digital. Sementara open banking membawa tantangan baru berupa keterbukaan data ke pihak ketiga, sehingga perlu standardisasi API dan kerangka regulasi yang ketat untuk memastikan semua akses data hanya dilakukan dengan otorisasi yang jelas dan tanpa mengorbankan privasi nasabah.
Neo banking merupakan solusi inklusi keuangan yang menjangkau masyarakat yang belum terakses layanan perbankan tradisional, khususnya di daerah terpencil. Sementara open banking berperan sebagai katalis inovasi dengan membuka peluang kolaborasi antara bank, fintech, dan pelaku digital lain. Ini mempercepat pengembangan produk keuangan baru dan strategi keuangan digital nasional.
Implementasi neo banking maupun open banking memberikan dampak besar terhadap lanskap industri keuangan nasional, mulai dari inovasi, inklusi, hingga efisiensi.
Neo banking secara langsung mendukung misi inklusi keuangan nasional dengan mempermudah masyarakat mengakses layanan bank tanpa harus datang ke kantor cabang. Akses layanan perbankan via aplikasi digital memungkinkan lebih banyak penduduk, termasuk di wilayah terpencil, untuk menjadi bagian dari ekosistem keuangan formal. Sementara open banking memperluas manfaat inklusi keuangan dengan menciptakan ekosistem kolaboratif antara bank, fintech, dan UMKM, sehingga layanan keuangan dapat dijangkau secara lebih luas dan inovatif.
Kedua konsep ini secara signifikan memangkas biaya operasional dan meningkatkan efisiensi bisnis. Neo bank mampu menekan biaya operasional karena tanpa infrastruktur fisik yang mahal, sedangkan open banking memangkas biaya integrasi data dan pengembangan layanan berkat standardisasi API yang memudahkan kolaborasi multi-pihak. Efeknya, biaya layanan keuangan ke nasabah bisa ditekan dan kualitas layanan meningkat.
Dengan berbagai keunggulan dan tantangan tadi, bagaimana menentukan mana yang lebih tepat: neo banking atau open banking, untuk kebutuhan di Indonesia?
Pilihan ideal sangat bergantung pada kebutuhan dan karakteristik pengguna. Jika Anda mencari layanan bank digital serba mudah, cepat, tanpa perlu interaksi fisik, neo banking bisa jadi pilihan terbaik.
Namun, jika Anda ingin memanfaatkan berbagai aplikasi keuangan terintegrasi, personalisasi layanan, dan fleksibilitas tinggi, open banking menawarkan nilai tambah luar biasa. Pelaku UMKM atau pengguna aktif teknologi digital umumnya cenderung mendapatkan manfaat lebih besar dari open banking.
Transformasi digital di sektor keuangan juga menghadirkan peluang karier baru bagi para profesional bidang teknologi, keuangan, dan inovasi digital. Kebutuhan akan talenta di bidang data science, keamanan siber, pengembangan API, hingga customer experience meningkat seiring maraknya open banking dan neo banking di Indonesia. Bagi generasi muda atau pekerja yang ingin berkarir di fintech, kedua ekosistem ini menawarkan peluang yang sangat besar untuk berkembang.
Baik Neo Banking maupun Open Banking menawarkan inovasi dalam dunia keuangan digital dengan pendekatan yang berbeda. Neo Banking menghadirkan pengalaman perbankan sepenuhnya digital, sementara Open Banking mendorong kolaborasi antar lembaga keuangan melalui integrasi data. Keduanya berperan penting dalam membentuk masa depan layanan keuangan yang lebih terbuka, efisien, dan berpusat pada pengguna.